22 Oktober 2008

MALU BAGIAN DARI IMAN

Apabila kamu tiada lagi mempunyai sifat malu,

berbuatlah sesukamu.

Demi Allah,

tiada kebaikan dalam kehidupan dan dunia ketika rasa malu t’lah sirna

Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara

Sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya


Beruntunglah kita, kaum wanita, yang sesuai dengan fitrah penciptaannya mempunyai rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki.

Malu adalah Iman

Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang mencela sifat malu saudaranya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman. (HR Bukhari)

Malu, Kunci Segala Kebaikan

Malu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya.

Abu Hatim berkata, “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.”

Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair sebagai berikut:

“Bila cahaya wajah berkurang,

maka berkurang pula rasa malunya

Tidak ada keindahan pada wajah,

Bila cahayanya berkurang

Rasa malumu peliharalah selalu,

Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang, Adalah rasa malunya.”


Bukannya Tidak Pede

Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Allah atau karena manusia. Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’I, atau malu pergi ke majelis ta’lim. Apakah malu yang demikian ini karena Allah atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Allah-lah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Allah-lah yang paling berhak kita malui?

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Allah: “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar” (Al-Ahzab:53)”.

Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan : Saya tidak tahu”.

Imam Bukhari rahimahullah berkata; “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah. Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari 1/229)

Harus Ditumbuhkan

Saudariku… sifat yang mulia ini selayaknyalah kita pupuk dengan baik dan kita jaga agar tidak musnah dari diri kita. Berbahagialah Anda, jika Anda terlahir sebagai sebagai seorang yang pemalu, yang berati Anda telah mempunyai sifat dasar yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, “Pada dirimu ada dua sifat yang Allah sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasulullah menjawab, “Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Allah yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai “ (HR Ibnu Abi ‘Ashim).

Jika memang kita rasakan sifat itu kurang pada diri kita, maka tidak perlu khawatir karena sifat itu dapat ditumbuhkan. Dengan meningkatkan iman, ma’rifatullah, dan pendekatan diri kepada Allah sehingga dalam diri kita timbul kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi, mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan dan yang kita simpan dalam hati maka akan tumbuhlah malu imani yang mampu mencegah seseorang berdosa karena takut pada Allah. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: