22 Oktober 2008

BEGITU DALAMNYA MAKNA CINTA

Begitu dalamnya makna cinta ( Al Mahabah) sampai-sampai ada yang mengeluarkan pendapat tentang makna cinta,” Hati yang buta untuk melihat selain orang yang dicinta, tuli untuk mendengar selain yang dicinta”. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah hadits:

“Kecintaanmu terhadap sesuatu bisa membuat buta dan tuli”

(HR. Ahmad).

Cinta datang tak terduga tanpa ada rencana ataupun cita-cita, datang secara tiba-tiba. Tidak ada kekuatan selain-NYA yang dapat menolaknya. Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah –rahimahullah- menjelaskan bahwa “cinta datang tanpa ada inisiatif’. Ibnu Hazm –rahimahullah- juga mengatakan “ada seorang pemuda bertanya kepada Umar bin Khaththab –radhiyallah anhu- “wahai Amirul Mu’minin sesungguhnya saya melihat seorang wanita, lalu saya jatuh cinta padanya. Umar –radhiyallah anhu- berkata “itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibendung”.

Al Qadhy Abu Umar An Nuqany dalam Minhatuzh Zhahraf berkata, “Cinta itu menyusup secara kebetulan dan merupakan ketetapan yang tak bisa diganggu gugat. Seseorang tidak tercela karena jatuh cinta karena sesuatu yang diluar kesanggupannya dan itu sudah ditakdirkan atas dirinya”.

Kami bawa kalian kepada satu orang yang menyamai beribu ulama yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- “apakah pendapatmu wahai pemimpin para fuqaha’ tentang orang yang dimabuk cinta?” Beliau menjawab, “Orang yang dimabuk cinta itu ada tiga taraf, permulaan, pertengahan dan puncaknya. Pada jenjang permulaan dia harus menyembunyikan cintanya tidak perlu memberitahukan kepada orang lain, tentu dia harus memperhatikan batas-batas yang dibolehkan. Pada jenjang pertengahan apabila cintanya bertambah membara, tidak ada salahnya dia menyatakan cintanya pada orang yang dicinta. Jika cintanya bertambah membara (puncaknya) dan dia telah keluar dari batas yang dibolehkan, berarti dia termasuk orang gila dan terbujuk rayuan syetan.

(Disarikan dari Kitab: Ar Raudhah Al Muhibin wa Nuzhah Al Musytaqin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah)

Menurut Imam Ibnu Jauzi, cinta adalah kecondongan jiwa yang sangat kuat kepada satu bentuk yang sesuai dengan tabiatnya, maka jika pemikiran jiwa itu kuat mengarah kesana, ia akan selalu mengharapkannya. Oleh karena itu pula, biasanya penyakit baru akan selalu muncul bagi orang yang sedang jatuh cinta. (Dzammul Hawa karya Imam Ibnu Jauzi)

Imam Muhammad Ibnu Daud berkata, “Kami telah menuturkan beberapa pendapat penyair mengenai cinta bahwa cinta pada mulanya terjadi dari penglihatan dan pendengaran. Kemudian bila Allah menghendaki kita dibuat untuk dapat selalu mengingat-ingat apa yang mungkin diakibatkan oleh pendengaran dan penglihatan. Lantas kenapa bisa terjadi cinta dan bagaimana? Bagi orang awam keberadaan cinta tidak terlalu menjadi perhatian mereka, sedangkan bagi orang-orang yang ahli mereka selalu mempertanyakan sebab-musababnya.”

Seorang penyair berkata:

Aku membawa segunung cinta untukmu

Sedang aku sesungguhnya tidak mampu membawa jubah dan aku begitu lemah

Cinta bukanlah bagian dari kebaikan dan tenggang rasa

Akan tetapi cinta adalah sesuatu yang karenanya jiwa terbebani dengan beban yang berat.

(Az Zahrah karya Imam Muhammad bin Daud Azh-Zhahiri (296 H))

MALU BAGIAN DARI IMAN

Apabila kamu tiada lagi mempunyai sifat malu,

berbuatlah sesukamu.

Demi Allah,

tiada kebaikan dalam kehidupan dan dunia ketika rasa malu t’lah sirna

Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara

Sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya


Beruntunglah kita, kaum wanita, yang sesuai dengan fitrah penciptaannya mempunyai rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun, ironisnya, kini banyak sekali wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia dan terpuji itu. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai saat ini kaum wanita yang lebih tidak tahu malu daripada laki-laki.

Malu adalah Iman

Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata hadits ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan Dzahabi menyepakatinya)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang mencela sifat malu saudaranya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman. (HR Bukhari)

Malu, Kunci Segala Kebaikan

Malu merupakan penghalang seseorang untuk melakukan perbuatan dosa. Hasrat seseorang untuk berbuat dosa berbanding terbalik dengan rasa malu yang dimilikinya.

Abu Hatim berkata, “Bila manusia terbiasa malu, maka pada dirinya terdapat faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan. Sebaliknya orang yang tidak tahu malu dan terbiasa berbicara kotor maka pada dirinya tidak akan ada faktor-faktor yang mendorong pada kebaikan, yang ada hanya kejahatan.”

Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi melantunkan syair sebagai berikut:

“Bila cahaya wajah berkurang,

maka berkurang pula rasa malunya

Tidak ada keindahan pada wajah,

Bila cahayanya berkurang

Rasa malumu peliharalah selalu,

Sesungguhnya sesuatu yang menandakan kemuliaan seseorang, Adalah rasa malunya.”


Bukannya Tidak Pede

Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau nggak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Allah atau karena manusia. Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’I, atau malu pergi ke majelis ta’lim. Apakah malu yang demikian ini karena Allah atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Allah-lah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Allah-lah yang paling berhak kita malui?

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan sesuai dengan firman Allah: “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar” (Al-Ahzab:53)”.

Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan : Saya tidak tahu”.

Imam Bukhari rahimahullah berkata; “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah. Ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu pada diri mereka tidak menghalangi mereka mendalami ilmu agama.” (Fathul Bari 1/229)

Harus Ditumbuhkan

Saudariku… sifat yang mulia ini selayaknyalah kita pupuk dengan baik dan kita jaga agar tidak musnah dari diri kita. Berbahagialah Anda, jika Anda terlahir sebagai sebagai seorang yang pemalu, yang berati Anda telah mempunyai sifat dasar yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Asyaj dari bani Anshar, “Pada dirimu ada dua sifat yang Allah sukai.” Maka ia bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Sabar dan malu”. Asyaj bertanya lagi, “Apakah kedua sifat itu sudah ada sejak dulu atau baru ada?”. Rasulullah menjawab, “Sejak dulu.” Asyaj berkata, “Puji syukur kepada Allah yang telah memberiku dua sifat yang Allah sukai “ (HR Ibnu Abi ‘Ashim).

Jika memang kita rasakan sifat itu kurang pada diri kita, maka tidak perlu khawatir karena sifat itu dapat ditumbuhkan. Dengan meningkatkan iman, ma’rifatullah, dan pendekatan diri kepada Allah sehingga dalam diri kita timbul kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi, mengetahui segala sesuatu yang kita kerjakan dan yang kita simpan dalam hati maka akan tumbuhlah malu imani yang mampu mencegah seseorang berdosa karena takut pada Allah. Wallahu a’lam.

17 Oktober 2008

KISAH SELEMBAR KAIN

Dahulu hanya ada 1 lembar kain putih, tidak mempunyai warna dan motif. Lalu sebagian umat membelahnya sebagian dan diwarnainya dengan warna biru, karena menurut pandangannya biru itu seperti laut dan laut itu lebih luas dari daratan maka dia mengganggapnya warna terbanyak.


Sebagian umat yang lain membelah kembali kain putih tersebut dan diwarnainya dengan warna hijau, karena menurut mereka warna hijau adalah warna alam dan yang paling menyejukan.


Sebagian umat yang lain membelah kembali kain putih tersebut dan diwarnainya dengan warna kuning, karena menurut mereka kuning adalah lambang kebahagiaan.


Sebagian yang lain membelah dan mewarnai dengan warna merah, menurut mereka merah adalah symbol keberanian dan jihad.


Dan sekarang banyaklah warna-warna tersebut. Maka warna-warna tersebut berkata kepada kain putih tersisa, “Hai putih, kau adalah salah satu belahan dan warna seperti kami”.


Putih itu adalah warna aslinya tidak ada yang mewarnai dan bukan pula sebuah sobekan kain seperti lainnya. Itulah Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau dikenal dengan istilah Salafy.


Dan hari ini kain-kain yang berwarna itu berusaha untuk bersatu kembali, dengan menjahitnya menjadi 1 lembar.

Walaupun bisa menjadi 1 lembar tetapi mereka lupa, bahwa masing-masing mereka masih menyandang warna-warna tersebut.


Si Putih tidak akan ridho untuk dijahit bersama dengan warna-warna itu, karena selamanya tidak akan bercampur antara Sunnah dengan Bid’ah, antara Syirik dengan Tauhid, Haq dengan Bathil.

Namun si Putih pun tidak suka berpecah belah, maka si Putih mengajak warna-warna itu untuk memutihkan diri-diri mereka dan bergabung kembali dengan kain yang putih ini, dan semuanya menjadi putih kembali.


Inilah keadaan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah pada jaman fitnah ini.


“Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana semula, Maka berbahagialah orang-orang yang asing”

(Hadits Mutawatir)